MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI kel 2

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA
Dosen Pengampu : Yustirania Septiani, S.Pd., M.Sc

Jurusan              : S1 Ekonomi Pembangunan
Tim Penyusun    :
1.     Muhammad Fahrizal.L    (1610101111)
2.     Familia Vida                     (1610101069)
3.     Rahmawati                       (1610101034)
4.     Siti Nur Aisyah                 (1610101030)
5.     Nur Faizah                        (1610101109)
6.     Tri Etik M                        (1610101018)
7.     Fitria Puji Rahayu            (1610101040)
FAKULTAS EKONOMI
UNVERSITAS TIDAR
Tahun 2016/2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya makalah yang berjudul “Kontrak dan Penyelesaiannya” dapat selesai.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas Aspek Hukum dalam Ekonomi yang diberikan oleh dosen pengampu. Selain itu juga untuk meningkatkan pemahaman penulis mengenai materi.
Penulis berharap dapat membantu pembaca dapat memahami materi ini dan dapat memperkaya wawasan pembaca.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan kepada pembaca yang telah membaca makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih kurang dan belum sempurna. Untuk itu karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.

Magelang, 26 September 2016


Penulis








BAB I
PENDAHULLUAN
       I.            Latar Belakang
Di dalam mejalankan bisnis, seringkali orang melupakan betapa pentingnya kontrak yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan di kemudian hari. Kontrak yaitu kesepakatan antara duaorang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh pihak yang berkaitan dan diatur oleh UU Hukum Perdata Indonesia. Sebelum kontrak dibuat, biasanya akan didahului dengan suatu pembicaraan pendahuluan serta pembicaraan-pembicaraan tingkat berikutnya (negosiasi/komunikasi) untuk mematangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, sehingga kontrak yang akan ditandatangani telah betul-betul matang (lengkap dan jelas).

    II.            Tujuan
                Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang aspek hukum dalam ekonomi materi kontrak dan penyelesaiannya. Diharapkan juga agar dapat bermanfaat bagi kita semua















BAB II
RINCIAN MATERI
I.                   Syarat sahnya suatu kontrak
Sahnya suatu kontrak sebelum bisnis berjalan, biasanya akan dibuat kontrak atau perjanjian secara tertulis, yang akan dipakai sebagai dasar jalannya bisnis yang akan dilaksanakan. Dalam setiap kontrak yang dibuat, tidak bias tidak, terlebih dahulu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar kontrak yang akan atau telah dibuat secara hukum sah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun syarat-syarat sahnya kontrak tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya kata sepakat di antara para pihak
b. Adanya kecakapan tertentu
c. Adanya suatu hal tertentu
d. Adanya suatu sebab yang halal Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu dinamakan sebagai syarat-syarat subjektif, karena kedua syarat tertentu mengenai subjeknya atau orang-orangnya mengadakan kontrak (perjanjian).

Adanya kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua belah pihak mengadakan perjanjian setuju atai seiasekata mengenai hal-hal yang pokok dari kontrak. Bila A menghendaki sesuatu, tentu B juga menyetujui apa yang dikehendaki oleh A. dengan perkataan lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbul balik. Dalam kontrak juga dipenuhi syarat bahwa mereka yang mengadakan haruslah cakap menurut hukum. Apa yang dimaksud dengan cakap menurut hukum pada asasnya adalah setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), seseorang dikatakan dewasa adalah saat berusia 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, kedewasaan seseorang adalah saat berusia 19 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi wanita.
Acuan hukum yang dapat kita pakai adalah KUHPerdata, karena ketentuan ini masih berlaku secara umum. Sedangkan ketentuan lainnya hanya berlaku secara khusus. Hal ini tidak berarti asas lex specialis derogate lex generalis menjadi tidak kaku. Sebab yang dimaksudkan di sini adalah kedewasaan dalam arti umum. Dalam KUHPerdata juga disebutkan adanya 3 (tiga) kelompok orang yang tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum.
Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian-perjanian tertentu.

II.                Pentingnya kecakapan menurut hukum
Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua) maksud,yaitu:
Pertama, dilihat dari sudut rasa keadilan, yaitu perlunya orang membuat perjanjian mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut.
Dan kedua, dilihat dari sudut ketertiban hukum, yang berarti orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya. Artinya orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya. Demikian pula dengan orang-orang yang ditaruh di bawan pengampuan, kedudukannya sama dengan orang yang belum dewasa (walaupun kenyataannya sudah dewasa).
Khusus untuk golongan ketiga, orang-orang perempuan yang telah bersuami, kenyataannya sekarang ini dalam praktek sudah tidak berlaku lagi. Hal dapat dilihat dari sikap Mahkamah Agung (MA) dengan Surat Edaran Nomor 03/1963 tanggal 4 Agustus 1963, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, yang menjelaskan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin dan bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Mengenai syarat ketiga, suatu hal tertentu, artinya apa yang telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si terutang jika terjadi sengketa. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian itu harus ada atau sudah ada di tangan si terutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.
Selanjutnya mengenai syarat keempat, yang mengharuskan adanya suatu sebab yang halal, dimaksudkan tidak lain pada isi perjanjian itu sendiri. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab (causa) yang halal atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun causa yang tidak diperbolehkan ialah causa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam hal tidak dipenuhinya syarat objektif, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak  pernah ada suatu perjanjian. Tujuan para pihak untuk melahirkan suatu perjanjian adalah gagal. Sedangkan dalam syarat subjektif, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas.
Dengan perkataan lain, perjanjian yang dibuat tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atau atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.

III.             Kebebasan kontrak dan masalahnya
Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Wahana yang lazim dipakai untuk berusaha seperti Firma, CV, maupun PT, pada dasarnya merupakan hasil perjanjian antara dua orang atau lebih. Oleh karena itu perlu diketahui adanya 3 (tiga) asas perjanjian dan kekecualiannya.
Ketiga asas perjanjian tersebut adalah asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat dan asas bahwa perjanjian hanya melahirkan ikatan antara para pihak yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah meliputi bentuk dan idi dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (consensus) saja sudah cukup, dan apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekadar sebagai alat pembuktian semata saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka inginkan. Ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum atau notaries dan PPAT, misalnya akta perjanjian menghibahkan saham, akta pendirian PT, dan lain-lain. Untuk pendirian PT diwajibkan guna melindungi kepentingan pihak ketiga seperti dimaksud dalam UU PT No. 1 Tahun 1995.
Dalam asas kebebasan berkontrak, pembuat undang-undang yang memberikan asas ini kepada para pihak yang berjanji sekaligus memberikan kekuatan hukum yang mengikat kepada apa yang telah mereka perjanjikan (pacta sunt servanda), dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang cacat karena tidak adanya sebab yang halal atau karena tidak ada kata sepakat, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.


IV.              Anatomi Kontrak
Anatomi suatu kontrak Setiap akta perjanjian/kontrak, baik yang dibuat di bawah tangan maupun akta otentik biasanya akan terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
a. Judul
b. Kepala
c. Komparisi
d. Sebab/dasar
e. Syarat-syarat
f. Penutup
g. Tanda tangan

Mengenai syarat-syarat dalam suatu akta perjanjian dapat di bagi atas 3 (tiga) syarat, yaitu:
1.      Syarat Esensialia adalah syarat yang harus ada dalam perjanjian, kalau syarat ini tidak ada, maka perjanjian tersebut cacat (tidak sempurna). Artinya tidak mengikat para pihak. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa di atas, syarat esensialannua adalah syarat tentang barang dan harga sewa. Contoh lain misalnya perjanjian jual beli, esensialianya adalah syarat tentang barang dan syarat tentang harga. Pada perjanjian kerja, esensialianya adalah syarat tentang pekerjaan dan upah. Pada perjanjian kerja sama, esensialianya adalah syarat tentang objek kerja sama, modal yang dimasukkan masing-masing dan pembagian keuntungan dan rugi.
2.      Syarat naturalia adalah syarat yang biasa dicantumkan dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak ada, maka perjanjian tidak akan cacat tapi sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian terdapat dalam peraturan perundangundangan dan kebiasaan. Oleh sebab itu kalau para pihak tidak mengatur syarat naturalia dalam perjanjian, maka yang berlaku ialah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau kebiasaan. Tanpa syrat naturalia dalam perjanjian, perjanjian itu tetap sah dan tidak cacat. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa di atas, bila tidak di atur syarat bahwa kalau yang menyewa memasang pompa air listrik ia boleh mengambil pompa air jika ia meninggalkan rumah setelah masa sewa berakhir. Tetapi dalam hal ini berlaku Pasal 1567 KUHPerdata yang mengatur bahwa pompa air boleh dibongkar dan dibawa penyewa. 16
3.      Syarat aksidentalia adalah merupakan syarat-syarat yang bersifat khusus. Syarat aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila para pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam akta. Dalam contoh kontrak Pasal 14 dan Pasal 15. Selanjutnya penutup suatu akta di bawah tangan akan dimulai dengan kalimat : “Demikianlah akta ini dibuat ………….” Dan seterusnya, sedangkan akta notaries dimulai dengan kalimat: “Demikianlah akta ini dibuat dalam minuta …………” dan seterusnya. Yang terakhir yang harus ada dalam suatu akta adalah adanya tanda tangan dari para pihak besera saksi-saksinya. Dengan membubuhkan tanda tangan berarti para pihak telah menyetujui atau mengikatkan dirinya dalam kontrak dan akan melaksanakan kontrak yang telah dibuat.

V.                 Penyelesaian sengketa kontrak
Hampir setiap hari kita mendengar adanya kegiatan bisnis dan melakukan transaksi yang dilakukan oleh para usahawan baik yang dilakukan di dalam suatu negara maupun yang dilakukan antar negara. Kegiatan bisnis ini tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak sesuai dengan asas kesepakatan. Dalam hukum perdata, kesepakatan yang telah disetujui para pihak tentunya akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata). Namun demikian apa yang telah mereka sepakati itu, kerapkali menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui jalur musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai altternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase (pewasitan).
Bila kita melakukan suatu bisnis dengan melakukan suatu transaksi dengan pihak lain atau dalam suatu kontrak yang telah ditandatangani bersama, maka dalam kontrak yang telah ditandatangani bersama itu biasanya selalu ada disebutkan dalam suatu pasal tersendiri yang menyatakan cara bagaimana melakukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan atau sengketa yang timbul.

1.         Jalur Pengadilan
Dalam dunia bisnis, hubungan yang terjadi di antara pihak termasuk dalam ikatan hubungan perdata. Oleh karena itu apabila terjadi sengketa dari sebuah kontrak (breach of contract), akan diselesaikan secara perdata. Penyelesaian kasus ini tentunya harus didahului dengan adanya surat gugatan ke pengadilan di wilayah hukum tergugat berada. Proses pengadilan ini pada umumnya akan diselesaikan melalui usaha perdamaian oleh hakim pengadilan perdata. Perdamaian bisa dilakukan diluar pengadilan. Kalau hal ini bisa dicapai, maka akibatnya gugatan akan dicabut oleh penggugat dengan atau tanpa persetujuan tergugat. Kalau damai dapat diselesaikan para pihak, dalam hal mana kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang dibuat. Akta perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan suatu vonis hakim.
2.            Jalur Arbitrase
Alternatif lain yang biasanya dan sering dilakukan oleh kalangan pengusaha untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi saat ini adalah melalui lembaga arbitrase. Sebab penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini mempunyai karakteristik sendiri yang bagi dunia usaha sangat dibutuhkan keberadaannya. Tetapi banyak pula kaum usahawan yang belum mengetahui seluk beluk pemakaian lembaga arbitrase, padahal menurut sejarahnya arbitrase dibentuk oleh kalangan usahawan sendiri untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul. Kata arbitrase sebenarnya berasal dari bahasa latin arbitrare, yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Kebijaksanaan yang dimaksud tidaklah berarti tidak mengindahkan norma-norma hukum dan semata-mata hanya bersandarkan kebijaksanaan saja. Frank Elkouri and Edna Elkouri dalam bukunya How Arbitration Works, 1974, telah mendefinisikan arbitrase sebagai berikut : Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and binding.
Dengan kata lain, arbitrase adalah proses penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh para hakim yang mereka pilih atau tunjuk. 18 Dari definisi di atas jelas bahwa dasar hukum arbitrase adalah bahwa menurut hukum dianggap wajar apabila dua orang atau pihak yang terlibat dalam suatu sengketa mengadakan persetujuan dan mereka menunjuk seorang pihak ketiga yang mereka berikan wewenang untuk memutus sengketa. Mereka pun berjanji untuk tunduk kepada putusan yang akan diberikan oleh pihak ketiga tersebut.

VI.              Bani dan Konvensi Internasional
Pada mulanya BANI didirikan atas prakarsa dari para pengusaha (KADIN), yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata mengenai soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Karena seperti kita ketahui adanya sengketa antara para pengusaha biasanya berkisar pada perbedaan penafsiran atau pelaksanaan suatu perjanjian dagang, sehingga adanya peradilan perwasitan menjadi mutlak.
Selain berwenang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata, BANI juga berwenang untuk memberikan sutau pendapat yang mengikat (binding opinion) tanpa adanya suatu sengketa, kalau diminta oleh para pihak dalam perjanjian. Selain berwenang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata, BANI juga berwenang untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) tanpa adanya suatu sengketa, kalau diminta oleh para pihak dalam perjanjian. Misalnya dalam suatu perjanjian dagang yang telah dibuat oleh para pihak, ternyata kemudian di belakang hari terdapat hal-hal yang kurang jelas, beberapa ketentuan yang tidak dibuat, keadaan baru yang tadinya tidak tampak, sehingga perjanjian, perlu disesuaikan dengan keadaan yang sudah berubah itu, dan para pihak tidak mampu menyelesaikan hal-hal tersebut, mereka dapat mempergunakan jasa BANI.
Putusan BANI demikian merupakan suatu pendapat yang mengikat yang wajib ditaati oleh para pihak. Mengenai hal klausula arbitrase, umumnya BANI menyarankan kepada para pihak yang ingin menggunakan arbitrase BANI agar mencantumkan dalam perjanjian mereka klausula standar sebagai berikut :
semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur BANI oleh arbiter yang ditunjuk menurut peraturan tersebut. Yang dalam bahasa Inggris sering dinyataka sebagai berikut : All arising from this contract shall be finally settled under the rules of arbitration of the BANI by arbitration appointed in accordance with the said rules.          
Jika dalam klausula perjanjian yang telah dibuat ditentukan oleh atau diselesaikan oleh arbitrase menurut peraturan BANI, maka aturannya adalah sebagai berikut:
1.      Pendaftaran BANI Pemohon membuat surat permohonan yang memuat nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan) kedua pihak, uraian singkat tentang duduknya perkara, apa yang dituntut. Kemudian dilampirkan naskah/akta perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Jika dilakukan oleh kuasa, maka surat kuasa tersebut harus dilampirkan. Pemohon dapat menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan penunjukkan arbiter kepada ketua BANI.
2.      Pemeriksaan sengketa menurut ketentuan BANI Ketua BANI menyampaikan salinan surat permohonan kepad si termohon, serta perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari. Dalam hal para pihak telah menunjuk arbiter mereka, ketua BANI menunjuk seorang arbiter yang akan menjadi ketua majelis arbitrase yang akan memeriksa sengketanya. Bila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, ketua BANI akan menunjuk (membentuk) suatu team yang terdiri atas tiga orang arbiter. Bila perkara dianggap mudah, BANI dapat menunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutus perkara. Majelis arbiter atau arbiter tunggal akan memeriksa dan memutus sengkata atas nama BANI.
3.      Penyerahan jawaban termohon kepada pemohon dan memerintahkan kedua belah pihak menghadap di sidang arbitrase. Termohon dalam jawabannya dapat mengajukan tuntutan balasan (counter-claim). Bila pemohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil secara patut, majelis arbitrase akan menggugurkan permohonan arbitrase. Apabila termohon yang tidak datang, tuntutan (claim) pemohon akan dikabulkan. 20
4.      Bila kedua belah pihak datang, majelis mengusahakan perdamaian Jika berhasilm majelis membuatkan suatu akte perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi perdamaian tersebut. Bila berhasil, pemeriksaan diteruskan ke pokok sengketa. Kedua belah pihak dipersilakan menjelaskan pendirian masing-masing, serta mengajukan bukti yang perlu. Bila dianggap perlum majelis dapat memanggil saksi atau ahli untuk didengar keterangannya (saksi atau ahli dapat disumpah terlebih dahulu). Pemeriksaan ini dilakukan dalam pintu tertutup. Pemohon dapat mencabut permohonannya, selama belum dijatuhkan putusan. Bila sudah ada jawaban dari termohon, pencabutan diperbolehkan dengan persetujuan termohon.










BAB III
PENUTUP
       I.            Pertanyaan
1.      Bekti Kumoro Ningsih (1610101028)
Apa yang dimaksud dengan syarat aksidentalia yang merupakan syarat bersifat khusus?
Dijawab oleh Familia Vida (1610101069)
Yang dimaksud dengan syarat aksidentalia yang merupakan syarat yang bersifat khusus yaitu syarat aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila para pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam akta.
2.      Erni Rahayu (1610101027)
Salah satu kelompok yang tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum adalah kelompok orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Jelaskan yang dimaksud dengan orang yang ditaruh di bawah pengampuan!
Dijawab oleh Siti Nur Aisyah (1610101030)
Orang yang berada di bawah pengampuan adalah keadaan orang yang telah dewasa yang disebabkan sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri atau kepentingan orang lain yang menjadi tanggungannya, sehingga pengurusan itu harus diserahkan kepada seseorang yang akan bertindak sebagai wakil menurut undang-undang dari orang yang tidak cakap tersebut. Yang dapat ditempatkan di bawah pengampuan adalah orang yang telah dewasa yang berada dalam keadaan keborosan, dungu, sakit ingatan, dan mata gelap.
3.      Dani Henji Prastiwi (1610101023)
Berikan contoh kontrak bertaraf internasional dan nasional!
Dijawab oleh Tri Etik (1610101018)
Contoh kontrak yang bertaraf nasional adalah kontrak kerja di sebuah perusahaan, sedangkan contoh kontrak yang bertaraf internasioanl adalah kontrak kerja suatu negara dengan negara lain, misalnnya kontrak PT. FREEPORT antara Negara Indonesia dengan Negara Amerika Serikat.
4.      Indriyati (1610101070)
Berikan contoh arbitrase ad-hock!
Dijawab oleh Siti Nur Aisyah (1610101030)
Contoh arbitrase ad-hock adanya 2 pihak yang saling berselisih tentang sengketa tanah. Keduanya sama-sama mengakui kepemilikan tanah tersebut. Untuk menyelesaikan masalah tersebut wasit bertindak untuk membawa perkara tersebut untuk ditangani oleh hakim.
5.      Fitri Amanah (1610101032)
1)      Bagaimana bisa masalah timbul dari kontrak padahal telah dirumuskan dengan konsep standar?
2)      Jelaskan sifat-sifat syarat dalam suatu akta perjanjian!
Dijawab oleh Fitria Puji Rahayu (1610101040) dan Tri Etik (1610101018)
1)      Masalah dapat timbul dari kontrak padahal telah dirumuskan dengan konsep standar  karena konsep standar pihak asing maupun konsep standar pihak lokal berbeda, sehingga perlu diadakan pembahasan bersama. Dalam sebuah kontrak standar, secara umum pasti memiliki standar yang sama, yaitu adanya judul kontrak, subjek dan objek, domisili, tujuan pembuatan kontrak, dan susunan pengurus.
2)      Sifat-sifat syarat dalam suatu akta perjanjian yaitu :
Syarat esensialia lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, syarat naturalia dan aksidentalia disebut bagian non inti perjanjian.
Syarat esensialia adalah syarat yang mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar perjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Dengan kata lain, syarat esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta dan harus ada dalam perjanjian. Kalau tidak ada, maka perjanjian tersebut cacat/tidak sempurna.
Syarat naturalia adalah syarat yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu syarat yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Syarat ini jika tidak ada, maka perjanjian tidak akan cacat dan tetap sah. Syarat ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli.
Syarat aksidentalia merupakan syarat yang bersifat khusus. Syarat aksidentalia ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila para pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam akta. Misalnya, jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat yang dipilih.


6.      Putri Shinta Paramita (1610101124)
Apa yang dimaksud dengan komparisi pada anatomi suatu kontrak?
Dijawab oleh Nur Faizah (1610101109)
Yang dimaksud dengan komparisi adalah  bagian dari perjanjian yang menyebutkan mengenai identitas dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang berisi nama, alamat orang yang bertindak, kedudukan orang tersebut dalam melakukan tindakan hukum dalam perjanjian, dan dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada orang tersebut.
7.      Kurniawan Tri Pamungkas (1610101122)
Bagaimana jika kita telah menjalankan sebuah kontrak, tapi kontrak tersebut malah merugikan kita?
Apakah kita bisa melepaskannya?
Dijawab oleh Muhammad Fahrizal L. (1610101111)
Bisa saja kita lepaskan, jika hal tersebut ada dalam perjanjian.
8.      Eva Rahmawati (1610101077)
Bagaimana jika BANI tidak berhasil tidak berhasil mendamaikan?
Dijawab oleh Fitria Puji Rahayu (1610101040)
BANI itu bertindak sebagai pihak terakhir, karena tingkat masalahnya sudah diajukan ke tingkat nasional Indonesia. Sehingga tinggal mendatangkan saksi-saksi ahli dalam persidangan secara tertutup. Putusan BANI juga suatu pendapat yang mengikat yang wajib ditaati oleh para pihak. Jadi, putusan BANI tidak dapat diganggu gugat.
9.      Bu Yustirania
Sebutkan tahap-tahap membuat kontrak!
Dijawab oleh Nur Faizah (1610101109)
Tahap-tahap membuat kontrak :
a.       Tahap pra kontrak atau negosiasi.
b.      Tahap penulisan kontrak.
c.       Tahap pengesahan atau penandatangan kontrak.
d.      Tahap pelaksanaan kontrak.
e.       Tahap penyelesaian sengketa.

10.  Bu Yustirania
Sebutkan asas-asas arbitrase!
Dijawab oleh Rahmawati (1610101034)
Asas-asas arbitrase yaitu :
a.       Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
b.      Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri.
c.       Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaitu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
d.      Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

11.  Bu Yustirania
Mengapa memilih jalur arbitrase?
Dijawab oleh Fitria Puji Rahayu (1610101040)
Memilih jalur arbitrase karena waktu yang dibutuhkan jalur arbitrase singkat. Sedangkan jalan melalui pengadilan sangat tidak menguntungkan, karena menggugat di muka pengadilan perdata merupakan jalan yang sangat panjang. Putusan dari pengadilan negeri belum merupakan kekuatan hokum yang mengikat, sebab masih ada tingkatan banding ke pengadilan tinggi serta kasasi bagi mereka yang merasa belum puas atas putusan tingkat pengadilan negeri. Proses ini pasti akan memakan waktu yang lama. Selain itu rahasia para pihak juga terjamin karena pemeriksaan dan pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan dengan pintu tertutup.






12.  Bu Yustirania
Gambarkan tahapan arbitrase dalam BANI!
Dijawab oleh Familia Vida (1610101069) dan Tri Etik (1610101018)

13.  Ika Rahma Febrianti (1610101123)
Apakah ada kekurangan dari arbitrase?
Dijawab oleh Tri Etik (1610101018)
Beberapa kelemahan dari arbitrase adalah :
a.       Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
b.      Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
c.       Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
d.      Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e.       Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.

    II.            Kesimpulan
Kontrak yaitu kesepakatan antara duaorang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh pihak yang berkaitan dan diatur oleh UU Hukum Perdata Indonesia.

Dalam hukum perdata, kesepakatan yang telah disetujui para pihak tentunya akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata). Namun demikian apa yang telah mereka sepakati itu, kerapkali menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui jalur musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai altternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase (pewasitan). Contoh badan arbitase yaitu BANI atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Komentar